Mari Renungkan

Rabu, 29 Oktober 2008


Usia 30, peringatan itu bertambah keras. Usia 40 lebih keras lagi. Puncaknya adalah 60 tahun.

Saudaraku,
Tak seorangpun tahu bagaimana dan kapan tempo hidupnya berakhir. Tak ada yang tahu bagaimana dan kapan tubuh menjadi payah oleh sakit. Saat ia tidak bisa lagi secara optimal melakukan ketaatan dan amal-amal shalih sebagai tabungan di hari akhir. Seorang Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu, sahabat dekat Rasulullah saw pun pernah menangis saat menderita suatu penyakit, di detik-detik akhir hayatnya. “Aku menangis karena aku justru menderita sakit, pada saat amal ibadahku berkurang, bukan pada saat aku semangat.”

Karena itu Umar bin Khattab radiallahu anhu mengatakan, “Hasibu anfusakum qobla antuhasabu”, berhitunglah kepada dirimu sendiri, sebelum engkau dihitung di hari akhir.
“Kafaa bi syaibi wa’izan”, cukuplah uban di kepala itu menjadi peringatan, begitu filosofi para salafushalih untuk mengingatkan dekatnya waktu “panggilan” Allah swt.

Saudaraku,
Inilah dering peringatan hati yang harus ada dalam diri kita. Dering ini yang akan memicu kesadaran diri untuk segera bekerja sungguhsungguh, meninggalkan kelezatan semu, palsu dan menipu.

Sebagaimana yang dilakukan Shuhaib radhiallahu anhu yang meninggalkan seluruh hartanya untuk menyusul Rasulullah saw, hijrah ke Madinah. Mendengar pengorbanan Shuhaib itu, Rasulullah saw bersabda, “Beruntunglah perdagangan Abu Yahya…beruntunglah perdagangan Abu Yahya…”
Dengarlah bagaimana Imam Ali karramallah wajhahu, menggambarkan perasaannya bahwa keadaan yang paling ia cintai adalah, memikul pedang di medan jihad, puasa di bawah panas terik matahari dan memuliakan tamu. Pedang Allah Khalid bin Walid, juga tidak melihat kebahagiaannya dalam masalah dunia. Ia berkata pada dirinya sendiri,

“Berada dalam satu unit militer dari Muhajirin dan Anshar, hembusan angin malam yang sangat dingin, dan dalam persiapan menyerang musuh, lebih aku cintai daripada keberadaanku pada malam pesta pernikahan.”

Mereka memindahkan pandangan dan pertimbangannya dari amal duniawi pada amal ukhrawi. Berkah pengenalan Allah yang tinggi, menuntun hati mereka untuk selalu bias mengenali sesuatu yang lebih utama. “Ambisi Anda adalah tergantung sebesar apa cita-cita Anda. Perhatian seseorang terhadap sesuatu, adalah petunjuk apa yang terpendam dalam jiwanya, baik berupa tekad maupun kelemahan,” begitu kata Ibnul Qayyim.

Saudaraku,
Laksanakanlah hak-hak waktu, terutama yang tidak dapat diganti pada waktu yang lain. Terlalu banyak hak waktu yang harus ditunaikan, sehingga sebanyak apapun orang beramal, sebenarnya hak waktu takkan habis. Ibnu Athaillah menyebutkan, “Usia dan hembusan nafas kita sangat terbatas. Yang sudah pergi berlalu takkan kembali.” Panjang pendek usia manusia memang sepanjang ia bias bernafas. Hembusan nafas, sama dengan detak jantung dan mengalirnya darah sebagai tanda kita masih hidup. Hidup kitapun berakhir dengan tersumbatnya saluran nafas, berhentinya detak jantung dan aliran darah. Sederhana sekali. Tapi sangat mahal nilainya.

Saudaraku,
Salah satu keadaan yang menyebabkan seseorang surut, lunglai dan tidak konsisten dalam ketaatan, dalam perjuangan, dan dalam pengorbanan, adalah ketika ia tidak menyadari sempitnya waktu untuk beramal. Kondisi ini antara lain muncul dalam sikap “taswif”, yakni menunda nunda, santai dan berlambat-lambat melakukan amal-amal shalih. Ulama Islam terkenal asal Kuwait, Syaikh Jasim Muhalhil, mengatakan penyakit taswif tersebut pada akhirnya akan menjadikan seseorang lamban bergerak dan akhirnya lumpuh. Benarlah sabda Rasulullah saw, “Tidaklah suatu kaum berlambat-lambat dalam suatu urusan, sampai Allah menjadikannya benar-benar lambat.”
(HR.Turmudzi)

Kenapa demikian? Karena menunda-nunda pekerjan yang menjadi hak waktu, pasti akan
menggeser hak waktu yang lain yang sebenarnya mempunyai hak yang harus ditunaikan juga. Begitu seterusnya. Pergeseran itu, akan berdampak pada menumpuknya hak-hak waktu yang lain hingga akhirnya menjadi sulit dipenuhi.

Sebab itulah, saudaraku, Hasan al-Bashri menegaskan “Jauhilah sifat menunda-nunda. Nilai dirimu tergantung pada hari ini, bukan besok. Kalau besok engkau beruntung, berarti keuntunganmu akan bertambah bila hari ini engkau beramal. Dan kalau besok engkau rugi, toh engkau takkan menyesal karena telah beramal pada hari ini.” (Az-Zuhd, 4)

Saudaraku,
Ingat, kita hanya memiliki waktu sedikit untuk beramal sholeh. Jauhi bisikan syetan yang mengarahkan kita mengerjakan prioritas pekerjaan nisbi dan semu. Jangan terjerumus pada pertimbangan yang keliru dalam menunaikan hak waktu. Bila suatu waktu kita merasa sulit menimbang amal atau hak waktu apa yang harus lebih dulu kita tunaikan, camkan nasihat Ibnu Athaillah berikut ini:

“Jika kabur bagimu dua perkara, maka
perhatikanlah salah satu dari keduanya yang
paling terasa berat bagi nafsu, lalu ikutilah ia.
Karena tidak ada sesuatu yang terasa berat
bagi nafsu kecuali sesuatu itu yang benar.”

Semoga Allah swt memberi kekuatan pada kita untuk selalu berada dalam ketaatan kepada-Nya. Majalah Tarbawi, Edisi 19 Th.2/ 30 April 2001M/ Muharram 1422H.
Dari Sumber : Bulletin



Read more.....

Menikmati Asyiknya Permainan Tempo Dulu

Minggu, 19 Oktober 2008


PULUHAN siswa SDN Bedono 01 Kecamatan Sayung, Demak, terlihat riang gembira. Terik matahari yang menyengat tak terasa oleh asyiknya bermain ular-ularan, go back to door (gobak so dor), dan lainnya.

Keasyikan mereka semakin terasa, karena sejumlah peserta adalah orang asing yang sudah dewasa. Ya, sejumlah warga Jepang yang tergabung dalam Organization for Industrial Spiritual and Cultural Advancement (OISCA) sengaja melibatkan anak-anak dalam program mereka.


Selama ini OISCA melakukan program penghijauan pantai. Bukan hanya itu, mereka juga membantu pembangunan gedung SDN Bedono I yang telah terandam air rob dan membangun Puskesmas Bedono. Setiap melakukan penghijauan pantai, LSM yang peduli lingkungan itu, senantiasa melibatkan anak-anak.

Untuk mencairkan suasana, mereka biasanya mengisi dengan permaian. Meski sebagian sudah berusia 35 tahun ke atas, mereka tak canggung bermain layaknya anak-anak.

Dalam gobak so dor misalnya, mereka berbaur dalam satu tim dengan anak-anak. ’’Tenaga anak-anak memang luar biasa, seperti tidak mengenal lelah,’’ kata Hideki Yoshinaga, penanggung jawab OISCA Indonesia sambil mengatur napasnya yang ngos-ngosan.

Terjaga Kelestariannya

Ia sengaja mengajak anak-anak bermain dengan permainan tempo dulu agar tetap terjaga kelestariannya. ’’Ternyata anak-anak di sini masih menjaga permainan ini,’’ ungkapnya.

Menurut dia, permainan anak-anak selalu menyenangkan. Bagi mereka, kalah dan memang bukan persoalan, karena tujuan yang hendak dicapai adalah kegembiraan bersama.

Bermain bersama siswa SD dilakukan setelah mereka menyelenggarakan aksi penghijauan 2.000 batang pohon mangrove dan cemara pantai. Penanaman dilakukan dari pesisir Pantai Morosari. Sebagian pohon dibawa menggunakan perahu sopek milik OISCA. Warga masyarakat, aktivis OISCA, dan puluhan siswa SD ikut menanam mangrove.

Mereka tampak menikmati, meski beberapa kali terperosok sedalam 30 sentimeter dalam lumpur pantai. Selain penanam mangrove, juga diresmikan bangunan SD dan puskesmas oleh Ohara dari Konica Minolco Union.

Koordinator penghijauan OSICA Demak, Rahmad menuturkan, pelibatan siswa SD dilakukan untuk menumbuhkan kecintaan mereka pada alam. Pemahaman lebih dini tentang pentingnya kelestarian alam akan mendorong mereka untuk tetap menjaga keseimbangan alam.

’’Setidaknya bisa belajar masa lalu, ditebanginya ribuan pohon mangrove yang telah mengikis pesisir Pantai Demak, dan menenggelamkan tambak milik warga,’’ paparnya.

Kelestarian alam memang menjadi warisan bagi generasi masa depan bangsa. Di tangan mereka, harapan terjaganya alam terwariskan.

Sumber : SUARA MERDEKA


Read more.....

Diplomat Minang Berlidah Pedang

Rabu, 15 Oktober 2008


Di panggung rapat Sarekat Islam itu, Muso –kelak menjadi tokoh Partai Komunis Indonesia– berdiri, kokoh. Dia melihat para anggota rapat, tersenyum.

“Saudara, saudara, seperti apa orang yang berjanggut itu,” tanyanya.

Para peserta seperti kaget. Tapi, mereka menjawab juga. “Kambing!”

“Lalu, seperti apa orang yang memasang kumis,” tanya Muso lagi.

“Kucing!”

“Terimakasih.” Muso tergelak, lalu turun dari podium.

Kemudian, seorang lelaki kecil, berjanggut panjang, berkumis, naik podium. Dia tersenyum sebentar pada peserta rapat. Mengelus janggutnya, berdehem, dan bertanya, “Tahukah Saudara, seperti apa orang yang tidak berkumis dan berjanggut?”

Koor jawaban pun bergema. “Anjing!”

Lelaki berjanggut itu tersenyum. Kemudian meneruskan pidatonya, menjelaskan agenda Sarekat Islam dalam menghadapi politik kolonialisasi Belanda.


Lelaki berjanggut dan berkumis panjang itu adalah Haji Agus Salim, pentolan Sarekat Islam. Sejak awal, dia memang agak berbeda sikap dengan Muso. Tapi, Agus Salim selalu menanggapi semua perdebatan dengan Muso, bahkan sampai menyentuh hal yang amat pribadi. Bagi Agus Salim, setiap perdebatan harus ia hadapi, dan mesti ia menangi.

“Jarang ada yang mau menghadapi Agus Salim dalam berdebat. Ia amat ahli berkelit, bernegosisi, dan lidahnya amat tajam kala mengecam,” jelas Mohamad Roem, rekan Agus Salim semasa aktif di Jong Islamieten Bond.

Menolak Bea Siswa

Agus Salim lahir di kota Gedang, Bukittinggi, Sumatera Barat, 8 Oktober 1884. Ia anak keempat dari Haji Moehammad Sali, jaksa di pengadilan negeri setempat. Karena kedudukan ayahnya itu, Agus kecil yang bernama asli Mashudul Haq, dapat bersekolah Belanda. Hebatnya, lelaki yang memang sedari muda suka memelihara janggut ini, amat pintar. Waktu lulus dari Hogere Burgerschool (HBS) di usia 19 tahun, ia meraih predikat sebagai lulusan terbaik untuk wilayah tiga kota: Surabaya, Semarang, dan Jakarta. Karena itu, Agus kemudian mengajukan permintaan beasiswa pada pemerintaan Belanda. Tapi, permintaan itu ditampik. Agus Salim patah arang.

Sementara itu, di Jawa, tepatnya di Jepara, Kartini yang mendapat beasiswa tapi tak diizinkan orang tuanya, mendesak pemerintahan Belanda untuk menghibahkan beasiswa itu pada Agus Salim. Pemerintah Belanda menyanggupi. Tapi apa kata Agus Salim?

“Jika beasiswa itu diberikan kepadaku karena desakan Kartini, dan bukan karena penghargaan atas diriku sendiri, lebih baik tidak akan pernah kuterima,” kecamnya.

Sebagai sikap pembangkangan, Agus Salim bahkan hengkang ke Jeddah, dan belajar pada ulama di sana, sambil bekerja di konsulat Belanda.

Karier politik Agus Salim bermula saat dia pulang ke Indonesia, dan bergabung dengan HOS Tjokroaminoto dan Abdul Muis di Sarekat Islam. Waktu kedua tokoh SI itu mundur dari Volksraad (dewan rakyat), Agus menggantikannya. Tapi, karena Belanda tak juga mengubah kebijakanannya pada Indonesia, Agus pun akhirnya mundur.

SI kemudian pecah, antara golongan Semaun dan Muso yang condong ke garis kiri, dan Agus Salim-Tjokro yang tetap di jalur agama. SI Semaun-Muso berkembang menjadi partai komunis, sedangkan Agus Salium kemudian aktif di Jong Islamieten Bond.

Di organisasi baru ini, Agus pernah dituduh memecah belah pemuda berdasarkan sentimen keagamaan. Tapi Agus menolak, dan mengajak berdebat, dan dia menang.

Di lembaga ini Agus kemudian melakukan gebrakan. Dalam kongres Jong Islamieten Bond di Yogyakarta 1925, peserta lelaki dan wanita duduk terpisah dan berbatas tabir, sesuai syariah Islam. Tapi, dua tahun kemudian, dalam kongres di Solo, Agus atas nama pengurus membuka tabir itu, setelah menjelaskan penafsirannya. Semangat pembaruan Islam ini terus berkembang.

“Ajaran dan semangat Islam, memelopori emansipasi perempuan. Itu pasti,” ucapnya, berapi. Kisah ini sering diucapulangkan Seokarno dalam tiap pidatonya, untuk menerangkan perlunya memandang Islam dan berbagai agama dengan dada terbuka.

Tak Hirau Harta Dunia

Setelah Indonesia merdeka, bakat debat dan ketajaman lidah Agus Salim dimanfaatkan untuk menyokong politik luar negeri Indonesia. Agus menjadi diplomat, yang bahkan atas lobinya, Mesir mau mengakui kemerdekaan Indonesia pertama kali. Dalam perjanjian dengan Belanda dan negara lain pun, Agus pasti disertakan. Tapi, sebagai pejabat negara, hidup keseharian Agus tak ubahnya rakyat jelata.

Hidupnya berpindah dari satu rumah kontrakan ke kontrakan lain. Kadang, rumah itu hanya satu kamar, di gang becek, dan dia huni bersama 8 anaknya, serta ribuan buku koleksinya.

Tapi, menjadi miskin tak membuat keluarga itu murung. Penampikan Agus pada harta tak membuat anaknya kehilangan kegairahan dan keceriaan hidup. Mohamad Roem yang acap bertandang, menjadi saksi: “Kegembiraan berada di tengah keluarga Agus Salim, membuat kita acap lupa, sungguh betapa melaratnya keluarga ini,” katanya.

Agus Salim memang tak dendam pada kemiskinannya. Yang ia dendami adalah perlakuan Belanda yang menolak beasiswa dia. Karena itu, sedari lahir, tak pernah anaknya ia sekolahkan formal, kecuali yang bungsu. Agus mendidik sendiri anaknya dengan cinta dan pengertian. Bermain bagi Agus adalah belajar, belajar juga adalah permainan.

Hebatnya, sistem pendidikan informal ini cukup berhasil. Anak tertuanya, Jusuf Taufik, telah mampu membaca Mahabrata berbahasa Belanda di usia 13 tahun, dan yang lainnya, di usia belasan telah mampu menghapal syair Belanda. Perlu diketahui, tata bahasa Belanda amat sulit, sehingga butuh ketekunan yang luar biasa untuk bisa menguasainya.

Bagi Agus Salim, keberhasilan dirinya dia ukur dengan kemampuannya mengantarkan jiwa merdeka dan mandiri bagi anak-anaknya, tak menggantungkan hidup pada orang atau bangsa lain.

Jiwa yang merdeka ini, lidah yang amat tajam ini, dan otak yang luar biasa cemerlang itu, akhirnya rebah, 4 November 1954, di usia 70 tahun, sambil tersenyum. Dia tak pernah berhutang pada dunia.

Sumber : Wahana


Read more.....

Bercermin Ramadhan

Selasa, 07 Oktober 2008


Pergimu tak pernah aku kehendaki, tetapi kehendak Allah 'Azza wa Jalla yang menyelaraskan aturan waktu dari ramadhan ke bulan syawal. Kembali diperbolehkan berbuka atau kembali kepada rutinitas biasa, tanpa di haramkan makan minum pada siang hari itulah 'idul fitri, menunaikan membayar zakat fitrah saling bersilaturrahim pada saudara, tetangga, teman, dan kerabat jauh itulah suasana bulan syawal di negara kita.

Bayangan ramadhan bagi kaum alim, akan selalu melekat pada hari2 selepasnya, meningkatkan ibadah, meningkatkan kebajikan dan selalu menjaga diri, menahan diri dari keburukan hidupnya, namun akan sangat ironis bagi kaum awam, makna berlalunya ramadhan banyak yang menandai dengan sesuatu yang tiada manfaatnya bahkan lebih condong kepada kemudharatan. Sesuatu itu dapat berupa membuat dan membunyikan petasan dengan beaya besar yang penuh dengan resiko terkena ledakannya sementara banyak sekali saudara kita yang kurang mampu memikirkan apa yang harus dimakan esok pagi, karena mereka tidak mempunyai modal membeli kebutuhan pokok. Dan juga banyak sekali hura-hura lebaran dengan tanpa menyisihkan sebagian rezeqinya untuk bershodaqah dan menyumbang pada mustahiq ataupun lembaga/organisasi sosial keagamaan. Memang tidak semuanya demikian, akan tetapi hampir bisa dipastikan dengan datangnya lebaran ('idul fitri) maka seakan dimulailah genderang pesta bagi sebagian besar kaum muslim khususnya di Indonesia (Jawa).


Oleh karena itu, 1 Syawal bukan hari pembebasan sebebas-bebasnya. Melainkan hari pertama kita mulai terjun ke medan pertarungan melawan hawa nafsu dan setan, seteleh sebulan penuh kita berbekal iman dan kekuatan ruhani. Karena itu kita harus menang. Kita harus kendalikan nafsu itu ke arah yang positif, bukan malah dikendalikan nafsu ke arah yang buruk. Kita harus bergegas dalam kebaikan-kebaikan seperti kita dalam suasana Ramadhan. Bila kita kalah berarti perbekalan kita selama Ramadhan tidak maksimal. Tidak sungguh - sungguh. Tidak sedikit dari saudara-saudara kita seiman, yang langsung KO justru pada tanggal 1 Syawal. Artinya, begitu mereka masuk bulan Syawal seketika itu mereka terperosok dalam gelimang dosa.

Nabi saw. tidak ingin kita kalah lagi. Itulah rahasia mengapa kita disunnahkan menambah puasa lagi minimal 6 hari di antara bulan Syawal. Nabi bersabda: bahwa siapa yang menambah puasa 6 hari di bulan Syawal, ia akan mendapatkan pahala puasa setahun, seperti pahala puasa yang didapat umat-umat terdahulu. Mengapa puasa Syawal? Ini suatau isyarat bahwa kita harus terus mempertahankan diri seperti dalam suasana Ramadhan. Suasana di mana kita tetap dekat kepada Allah swt. Sebab seorang yang menahan nafsunya, tidak akan didekati setan. Bila setan menjauh maka malaikat mendekatinya. Bila malaikat mendekatinya otomatis ia akan semakin dekat kepada Allah. Ingat bahwa seorang yang dekat kepada Allah, ia akan mendapat keutamaan yang luar biasa: tidak saja doa-nya mustajab, melainkan lebih dari itu ia akan dijauhkan dari rasa sedih dan galau. Allah befirman: “alaa inna awliyaa Allahi laa khawfun ‘alaihim walaa hum yahazanuun (ketahuilah bahwa orang-orang yang dekat kepada Allah mereka tidak akan mendapatkan rasa takut atau kekhawatiran dan tidak akan pernah dirundung kesedihan).”

Marilah kembali mengenang ramadhan sebagai pegangan cara membiasakan diri menjalankan perintah Allah, menjauhi segala larangan, meminimalkan salah dan dosa dengan senantiasa berdzikir dan memohon ampun kepada-Nya. Ibarat tubuh barang kali ramadhan adalah jiwa kita dengan semangat syawal yang akan membangkitkan gairah positif membentuk insan muttaqin. Bersama-sama dimulai di bulan penuh kebahagiaan ini (syawal) singsingkan lengan baju meraih kembali lailatulqadar-2 yang sebenarnya banyak kita jumpai di luar ramadhan, dengan cara terus bercermin dengan kebaikan dan amalusshaleh. Mudah-mudahan setiap bulan dalam kehidupan kita sebagaimana ramadhan. Amiin Ya Rabbal 'alamiin.

Taqabbalahhu minnaa waminkum shaalihal a’maali, wa kullu ‘aamin wa antum bikhairin (semoga Allah menerima amal-amal baik kita, dan semoga dalam semua hari-hari sepanjang tahun kita selalu dalam kebaikan).





Read more.....