Jangan Remehkan Sampah

Senin, 28 Juli 2008


Menanti Listrik Sampah Kota Bandung

Kota Bandung, Jawa Barat memastikan segera membangun Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) dalam waktu dekat. Sosialisasi ke arah itu kini masih digencarkan dan disosialisasikan oleh tim.

Mereka beranggotakan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Badan Perencanaan Lingkungan Hidup (BPLH), Perusahaan Daerah (PD) Kebersihan, PT Bandung Raya Indah Lestari (BRIL), Tim Studi Kelayakan (Feasibility Study/FS), dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) PLTSa bekerja sama dengan Institut Teknologi Bandung (ITB).

Model penanganan sampah akhir ini dipilih, karena keterbatasan kapasitas lahan untuk pembuangan akhir (TPA) dan bisa menangani persoalan sampah dalam jangka panjang. Model pengelolaan sampah yang ditimbun di tanah lapang terbuka (open dumping) yang selama ini diterapkan dianggap tidak layak, karena sulitnya pengendalian jika volume sampah sudah menggunung,

polusi udara, produksi gas methan yang membahayakan, serta ancaman bahaya longsor.

Dengan model Waste to Energy/WTE atau PLTSa seperti ini, ada beberapa manfaat yang didapatkan di antaranya bisa memperkecil volume sampah dan teknik yang ramah lingkungan. Rencana pembangunan PLTSa ini telah melalui proses studi kelayakan, termasuk di dalamnya Amdal yang melibatkan berbagai pihak, termasuk LSM dan perguruan tinggi.

Menurut salah seorang anggota Tim studi kelayakan (feasibility study/FS), Mujiyanto dalam penjelasan yang disampaikan kepada SP melalui milis wartawan peduli Sanitasi dan Lingkungan di Jakarta, beberapa waktu lalu, beberapa pertimbangan yang mendasari dibangunnya PLTSa di Bandung tersebut.

Pertama, PLTSa berfungsi sebagai pabrik pemusnahan sampah daripada pembangkit listrik. Listrik yang dihasilkan dan dijual ke PLN hanya untuk menutupi sebagian biaya operasi," ujarnya.

Kedua, di seluruh kota di dunia pabrik pengolahan sampah yang dikelola swasta memungut biaya dari pihak yang sampahnya ingin diolah/dimusnahkan. Besarnya biaya pengolahan bergantung pada teknologi yang digunakan, semakin tinggi teknologi yang digunakan semakin mahal biaya pengelolaan sampah.

Ketiga, biaya pengelolaan PLTSa diharapkan lebih murah daripada di PLTSa luar negeri. Sebagai gambaran, di Singapura pemerintah kotanya harus membayar 80 dolar (Rp. 400.000) per ton kepada PLTSa swasta.

Di Tiongkok biaya pengolahan sekitar 100-200 Yuan kepada PLTSa milik pemerintah atau semipemerintah dan 250-300 Yuan pada PLTSa milik swasta (1 Yuan = Rp 1.300).

Keempat, ketentuan mengenai kepemilikan pembangkit listrik dan listrik yang dihasilkan diatur dalam UU 15/1985, PP 10/1989, dan Permen ESDM 1 dan 2/2006, yang pada intinya menyatakan pihak swasta boleh memiliki pembangkit listrik dan listrik dari PLTSa wajib dibeli oleh PLN, karena dapat dianggap sebagai pembangkit listrik energi terbarukan di bawah 10 MW.

Perjanjian kerja sama dengan PLN yang berisi hal-hal tersebut di atas sedang berlangsung, dan beberapa pertemuan dengan pihak terkait telah dilakukan. Kelima, Pemerintah Kota bersama pengembang akan sangat berhati-hati dalam melakukan pemilihan jenis teknologi, manufaktur, dan kualitas produk.

Dengan nilai investasi ratusan miliar dan masa pengembalian yang lambat, tentunya kita tidak menginginkan terjadinya pencemaran yang mengancam penduduk Bandung.

Keenam, untuk menjamin kualitas pabrik yang dibangun, sebelum kontrak berakhir pihak vendor berkewajiban untuk mengoperasikan selama satu sampai dua tahun, dan melakukan pengujian yang diperlukan untuk memastikan pabrik beroperasi dengan baik dan emisi yang dihasilkan di bawah baku mutu yang disepakati.

Dr Ari Darmawan Pasek dalam presentasinya tentang hasil studi kelayakan beberapa waktu lalu mengakui, ide untuk membangun PLTSa di Kota Bandung datang dari pemerintah Kota Bandung sendiri. Sebab, kota ini dihadapkan pada permasalahan berupa tidak tersedianya lagi ruang di kota tersebut untuk membuang sampah sebagai tempat pembuangan akhir (TPA).

Untuk itu, salah satu solusi yang dapat diambil adalah dengan mereduksi volume sampah yang dihasilkan oleh penduduk Bandung setiap harinya, yang jumlahnya mencapai 2.785 m3 per hari. Reduksi itu dapat dilakukan dengan cara mengubah sampah itu, menjadi abu dengan membakarnya.

Untuk melihat apakah PLTSa layak dibangun di wilayah Bandung sebagai bentuk solusi terhadap permasalahan sampah Kota Bandung, dijalankan sebuah studi kelayakan. Dan berdasarkan hasil studi kelayakan tersebut, dari sekitar 2.785 m3 sampah yang dihasilkan penduduk Bandung setiap harinya, di antaranya sekitar 25,22 persen adalah sampah yang masih bisa didaur ulang, sedangkan 74,78 persen sisanya adalah sampah yang dapat digunakan sebagai sumber energi, karena sebagian besar komposisi sampah di Bandung adalah sampah organik (42 persen berat atau 58 persen volume).

Tak Merusak Lingkungan

Tim sosialisasi PLTSa meyakinkan masyarakat bahwa pembakaran yang akan dilakukan tidak merusak lingkungan. Teknologi yang diaplikasikan mampu menekan kadar dioksin, sehingga tidak lagi mencemari udara.

Soal kekhawatiran masalah kesehatan masyarakat dan keamanan yang sempat timbul dari masyarakat Bandung, utamanya daerah Gedebage, lokasi di mana PLTSa tersebut akan dibangun, Tim FS memperlihatkan hasil studi bandingnya ke beberapa negara, di antaranya Singapura, dan Tiongkok, di mana WTE yang telah dibangun di sana, dan telah beroperasi selama beberapa tahun, berada dekat permukiman dan tidak menimbulkan polusi.

Pembakaran sampah pada pembangkit dilakukan di atas suhu 850 derajat Celcius sehingga kadar Dioksin dan gas beracun lainnya yang teremisi ke udara lebih rendah dari PLTU Batubara. Sampah akan terbakar tanpa bantuan bahan bakar tambahan.

Tim sosialisasi juga meyakinkan bahwa teknologi ini telah dipakai lebih dari 20 tahun di seluruh dunia belum ada korban pencemaran dioksin dan gas beracun lainnya pada manusia dari PLTSa. Sistem PLTSa sama persis dengan PLTU dan sampai saat ini belum ada kecelakan besar pada PLTU di Indonesia.

PLTSa Gedebage akan mengemisi dioksin kurang dari 1 ng/m3. Dengan demikian, dalam sehari akan teremisi paling banyak 2,4 miliar gram, atau selama 25 tahun umur operasi, PLTSa Gedebage hanya akan mengemisi 22 gram dioksin tersebar di 2.340 km2 wilayah cekungan Bandung (apabila diasumsikan pencemaran tidak keluar dari wilayah cekungan Bandung), atau 1,3 mikro gram/km2/hari.

Apabila diasumikan kepadatan di cekungan Bandung adalah 10.000 jiwa/km 2 (sama dengan kepadatan kota Bandung), maka nilai emisi dioksin adalah 3.7 pico gram per orang per hari per kg berat badan. Nilai tersebut masih berada di bawah batas paparan dioksin yang ditetapkan WHO, yaitu 4 pico gram per hari per kg berat badan.

Nilai paparan aktual tentunya akan lebih kecil, karena tidak semua dioksin yang teremisi akan tertelan manusia. Hasil simulasi penyebaran pencemaran udara yang dilakukan tim Amdal ITB menunjukkan bahwa pencemaran udara dapat ditekan di bawah baku mutu dengan mengatur ketinggian cerobong. [E-5]
Sumber : Suara Pembaruan


0 komentar:

Posting Komentar