Kisah Rumput dan Kutilang

Rabu, 19 September 2012

Senja meliuk damai di penghujung hari, mentari mulai mencoba manja dengan sinarnya yang lembut. Terbanglah burung kutilang nan cantik sedikit merajuk, menghunus amarah yang nampak lekat dari binar matanya. Seanggun kegelisahan ujung senja yang akan berganti malam, ia hampiri goyangan rerumputan yang pulas pada diamnya.

“Hai, kau sudah tahu aku, aku paham sama kamu lho?” selorohnya cetus. Rumput itupun menyahut: “Iya, aku tahu, pasti kamu kutilang kan?”. Keakraban pun terjalinlah. Denyut persahabatan yang lazim dari keduanya berjalan sangat indah. Danau telaga yang mengawasi pun nampak tertegun iri melihat mereka.

Laju waktu mencoba mengurung keduanya dalam canda dan coba. Aliran-aliran mimpi terus membayang dalam temaram perjalanan. Rumah takdir yang akan ditempatipun menjadi sisi gamang penuh keraguan, berjejal persoalan merakit tembok komitmen.

Kutilang hanya menitip benih teman dan kehakikian, jangan sampai kedekatan itu berbuah tidak semestinya. Rumput yang terus berfikir mencari posisi logisnya, hanya mencoba tetap tenang dan menenangkan roda hatinya yang dirundung dilema. Tak sepatutnya kutilang terjebak dalam sangkar kering dan lusuh.

Rumput yang terus menatap langit jingga, berbagi wahana kemampuannya, menebar senyum, membagi gurau, mengalihkan problema menjadi karunia. Ia hanya butuh kutilang kembali bernyanyi, kembali ceria, melepas jauh memori senyap tanpa makna, tak lebih dari itu. Rumput sadar akan posisinya, dan pembelajaran proses hidupnya yang ia rasa sebagai nikmat besar dari Tuhan.

Dalam keramahan demi keramahan waktu merekapun kembali berjuang menjalani keakraban mengharap ridla Tuhan, agar garis takdir menjadi jelas, benar dan terarah sesuai kondisi sewajarnya.Entah sampai kapan hanya Tuhan penentu segalanya yang Tahu.

0 komentar:

Posting Komentar