Suara sebagai Nikmat

Senin, 20 Agustus 2012

Alkisah, dalam kegersangan malam nan rajut, seraut wajah kusam meramu lamunan. Hingar Idul Fitri yang terpatri memaksa lingkup jasmaninya bergembira. Batangan harapan disapa dengan sedikit kantuk, sedikit respek, pula sedikit senyum.
Tabuh malam memang belum larut, khayalnya masih tajam, melambung lepas hingga tepian cahaya angkasa. Denyut kampung yang tak ramai memberi kekhusyukan bingkai hati tanpa kalimat. Ulasannya hanya sederhana, sedikit tanya saja: "dimana kegembiraan setelah lepas Ramadhan? dimana kebahagiaan tradisi Lebaran?"
Hal aneh yang hanya membuat orang semakin bingung, dirasa tak perlu seriuslah menjawab. Karena pada akhirnya ia tatap kerlip bintang itu penuh kekaguman, banyak sekali ayat-ayat Tuhan memberikan sinyal tasbihNya, termasuk gemintang yang senantiasa berikrar pada kesetiaan tasbih mereka pada Rabbnya.
Hingga keindahan lamunan yang terus seru itu, berujung mauidhah seorang Ustadz: "....suara yang kita keluarkan tak akan hilang, karena suara itu terus dibawa oleh angin dan terus saja terdengar dan hanya Allah SWT yang Tahu....". Dari situlah tertanam benih keinginan: "Ya Allah, dengan berucap Subhaanallah ......X, ijinkanlah suara tasbih ini terus menemani cahaya bebintang itu sampai kapanpun, biridhaka Yaa Rabb, biidznika Yaa Allah, Amiin".

Dari waktu ke waktu sudah berapa suarakah yang kita keluarkan, sebagai bangunan positif ataukah negatif, sebagai hal manfaat ataukah mudharat, sebagai dzikir ataukah kufur, sebagai nikmat ataukah laknat, semoga secuil peristiwa ini memberikan efek yang merdu untuk kalbu dalam peradaban serba galau. Amiin.

Read more.....